JURNALSEMBILAN.COM, JAKARTA –
Di halaman depan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisantek), Rabu siang, 3 Desember 2025, sekelompok massa dari Pelopor Angkatan Muda Indonesia (PAMI) kembali memerahkan wilayah Senayan. Mereka menuntut sesuatu yang sama: kejelasan sikap pemerintah terhadap dugaan plagiarisme yang menyeret Rektor Universitas Negeri Manado (UNIMA), Joseph Philip Kambey.
Aksi berlangsung di bawah panas yang menyengat, poster-poster terangkat, dan suara pengeras melayang ke arah gedung kementerian yang tampak sunyi. Para pengunjuk rasa menyebut instansi itu telah terlalu lama membiarkan polemik ini menggantung tanpa penjelasan yang memadai.
“Kami hanya meminta aturan ditegakkan,” kata Solihin, salah satu orator.
Ia mengacu pada Peraturan Menristek Nomor 19 Tahun 2017, yang dengan tegas mensyaratkan calon pemimpin perguruan tinggi negeri tidak memiliki rekam jejak plagiarisme.
“Jika pasal ini tak lagi memiliki makna, untuk apa kita bicara integritas lembaga akademik?”
Kasus ini mencuat pada 19 Januari 2025 ketika beredar tangkapan layar surat elektronik dari Reza Amarta Prayoga. Dalam pesan itu, Reza menyatakan artikel berjudul “The Urgency of Digital Capital and Community Intervention in Developing the Potential of Local Superior Product for MSME in Jambi” adalah miliknya, bukan karya Kambey. Artikel tersebut sebelumnya terbit di Jurnal Akuntansi Manado (JAIM) edisi 2023. Tak lama setelah keberatan itu disampaikan, JAIM menarik artikel tersebut dari publikasi.
Di tengah kegaduhan, pada 4 Februari 2025, Kambey justru dilantik sebagai Rektor UNIMA oleh Kemenristek Saintek. Langkah itu memicu pertanyaan publik: apakah kementerian mengetahui duduk perkara dugaan plagiarisme ini, ataukah memilih menutup mata?
Andri, koordinator lapangan aksi, menyebut kementerian sengaja membiarkan masalah tersebut merayap begitu lama.
“Hampir setahun kasus ini berputar di meja birokrasi tanpa arah yang jelas. Tidak ada klarifikasi, tidak ada investigasi terbuka. Bahkan pengakuan plagiat pun seolah tak berarti apa-apa,” ujarnya.
Para demonstran memberi batas waktu 7 x 24 jam kepada Kemendiktisantek untuk memberikan jawaban resmi. Jika tidak, mereka berjanji akan kembali turun ke jalan.
Hingga aksi bubar, tak ada pernyataan dari pejabat kementerian. Hanya pintu kaca gedung yang tertutup rapat dan halaman lengang, kontras dengan suara tuntutan yang menggema di luar. Polemik ini—yang semestinya menjadi urusan etika akademik—kini berubah menjadi ujian bagi pemerintah dalam menjaga marwah perguruan tinggi negeri.



















