JurnalSembilan | Jakarta – Dunia kedokteran kembali tercoreng dengan dugaan kasus malpraktik medis. Seorang dokter berinisial FK, yang bertugas di RS Yarsi, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, dituding melakukan maldiagnosis yang berujung pada meninggalnya seorang pasien perempuan berinisial U (43).
Peristiwa bermula ketika pasien U mengeluhkan sakit di bagian bawah pusar. Ia sempat dibawa ke Puskesmas Kemayoran dan didiagnosis menderita usus buntu. Karena keterbatasan fasilitas, pasien dirujuk ke RS Yarsi dengan membawa hasil pemeriksaan darah dan laboratorium.
Menurut keterangan keluarga, di RS Yarsi dokter FK kembali menegaskan diagnosis usus buntu dan segera melakukan operasi. Namun, usai operasi pertama, pasien mengalami koma dan tidak sadarkan diri. Anehnya, dokter FK tetap melanjutkan operasi kedua dengan alasan pasien diduga menderita tumor usus.
“Istri saya menjalani dua kali operasi. Setelah operasi pertama (usus buntu), dia koma. Namun dalam kondisi koma tetap dilakukan operasi kedua dengan alasan ada tumor. Akhirnya istri saya meninggal dunia,” ungkap Tarmin, suami pasien, kepada wartawan.
Tarmin juga menuturkan bahwa keluarga tidak pernah diberikan penjelasan yang transparan terkait kondisi pasien maupun hasil laboratorium.
“Kami tidak pernah diperlihatkan hasil pemeriksaan lab. Bahkan ketika ingin bertemu langsung dengan dokter FK, kami hanya ditemui humas dan dokter lain. Kondisi ini membuat kami menduga ada maldiagnosis dan malpraktik,” tegasnya.
Pasien akhirnya meninggal dunia pada 28 Agustus 2025 pukul 00.42 WIB. Keluarga berencana melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian dan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia (MKEK/MKDKI) untuk menuntut keadilan.
Pihak RS Yarsi saat dikonfirmasi melalui dokter Irma menyatakan agar keluarga pasien mengajukan permintaan tertulis jika ingin bertemu langsung dengan dokter penanggung jawab (DPJP).
“Jika ada permintaan bertemu DPJP, silakan diajukan tertulis untuk dijawab oleh manajemen,” jelasnya singkat, Minggu (7/9/2025).
Pandangan Pakar Kesehatan
Menanggapi kasus ini, dr. Andi Wijaya, Sp.B, pakar kesehatan sekaligus ahli bedah, menegaskan bahwa setiap tindakan medis harus berdasarkan diagnosis yang jelas dan terverifikasi.
“Operasi dalam kondisi pasien koma tanpa adanya informed consent keluarga berpotensi melanggar etika dan hukum medis. Apalagi jika terdapat perubahan diagnosis dari usus buntu menjadi tumor usus, seharusnya dilakukan konfirmasi kepada keluarga pasien terlebih dahulu,” ujarnya.
Menurut dr. Andi, dugaan maldiagnosis bisa mengarah pada malpraktik jika terbukti dokter tidak mengikuti standar prosedur operasional (SOP).
“Kasus seperti ini perlu ditangani serius oleh MKDKI agar ada kepastian hukum, sekaligus menjaga kepercayaan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan,” tambahnya.
EJS