Jurnalsembilan.com | Pati – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) melakukan pemantauan langsung di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, usai terjadinya aksi unjuk rasa yang berakhir ricuh pada Jumat (15/8). Dalam aksi tersebut, aparat kepolisian menembakkan gas air mata ke arah massa, yang diduga juga berdampak pada warga sekitar yang tidak terlibat demonstrasi.
Komisioner Komnas HAM, Pramono Ubaid Tanthowi, menegaskan bahwa pihaknya menerima banyak aduan masyarakat terkait penggunaan gas air mata yang tidak hanya diarahkan kepada peserta aksi, namun juga mengenai kawasan permukiman, halaman masjid, bahkan hingga area tempat wudu.
Kami menerima laporan bahwa sejumlah warga yang sedang beribadah di masjid maupun warga yang berada di sekitar lokasi ikut terkena imbas gas air mata. Hal ini menimbulkan gangguan pernapasan, mata perih, bahkan rasa takut di tengah masyarakat,” jelas Pramono.
Berdasarkan data awal, 64 orang dilaporkan terdampak akibat tembakan gas air mata. Dari jumlah tersebut, 52 orang adalah warga sipil dan 12 orang merupakan anggota kepolisian. Seluruh korban telah mendapatkan perawatan medis di fasilitas kesehatan setempat.
Komisioner Komnas HAM lainnya, M. Shofwan Al Banna, menyayangkan cara aparat dalam menangani aksi yang dinilai berlebihan dan berpotensi melanggar prinsip hak asasi manusia.
Tindakan aparat keamanan seharusnya dilakukan secara terukur. Mengejar massa hingga ke area ibadah dan pemukiman jelas tidak sejalan dengan prinsip keamanan yang berbasis pada penghormatan HAM,” tegasnya
Komnas HAM juga telah mendatangi Polres Pati untuk meminta penjelasan terkait prosedur yang diterapkan aparat saat pengamanan. Kepolisian Polda Jawa Tengah melalui Kabid Humas Kombes Pol Satake Bayu menyampaikan bahwa terdapat 22 orang yang sempat diamankan dalam aksi tersebut, namun semuanya telah dibebaskan dan tidak ada yang ditetapkan sebagai tersangka.
Komnas HAM memastikan akan mengumpulkan bukti-bukti, termasuk video dan keterangan saksi maupun korban, guna menyusun rekomendasi resmi.
Kami akan mendalami fakta lapangan dan memastikan setiap tindakan aparat dilakukan sesuai prosedur. Jika ditemukan pelanggaran, tentu harus ada akuntabilitas,” pungkas Pramono.
(red/tim)