Jurnalsembilan.com | Jakarta – Puluhan peternak ayam yang tergabung dalam Komunitas Peternak Unggas Nasional (KPUN) menggelar aksi damai di depan Istana Negara (Silang Monas) dan Kantor Kementerian Koordinator Bidang Pangan, Kamis (9/10/2025).
Ketua KPUN, Alvino Antonio W., menyampaikan bahwa kenaikan harga ayam hidup di tingkat peternak tidak berbanding lurus dengan peningkatan keuntungan. Penyebabnya, harga pakan terus meningkat sehingga biaya produksi ikut melonjak.
Per 1 Oktober 2025, harga rata-rata nasional ayam hidup tercatat Rp21.000 per kilogram (kg), atau naik 14,28 persen di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) sebesar Rp18.000/kg. Namun, biaya produksi sudah mencapai Rp19.000–Rp20.000/kg akibat mahalnya harga pakan jagung yang kini menembus Rp6.900–Rp7.000/kg, jauh di atas Harga Acuan Pemerintah (HAP) sebesar Rp5.500/kg.
Sementara harga ayam broiler di tingkat konsumen masih tinggi, yakni rata-rata Rp38.377/kg, sehingga peternak rakyat ayam ras tidak menikmati margin keuntungan yang memadai.
Peternak hanya jadi korban fluktuasi harga. Harga jual naik, tapi harga pakan juga melonjak. Akhirnya peternak tidak sejahtera,” tegas Alvino.
KPUN juga mendesak pemerintah melakukan audit terhadap stok dan harga Day Old Chick (DOC) agar stabilitas harga ayam hidup di tingkat peternak dapat terjaga. Selain itu, KPUN menilai program pemerintah seperti Bantuan Pangan dan Makan Bergizi Gratis belum melibatkan peternak rakyat ayam ras secara optimal.
Salah satu perwakilan peternak, Uhubuilaik Hasan, menambahkan bahwa banyak peternak mandiri dan koperasi saat ini kesulitan memperoleh bibit ayam (DOC) karena distribusinya tidak merata dan cenderung diprioritaskan kepada pihak-pihak tertentu.
“Peternak mandiri, koperasi, dan UMKM banyak yang tidak kebagian DOC. Harga di pasaran juga sudah sangat tinggi, mencapai Rp7.500 hingga Rp8.500 per ekor, padahal harga normal sebelumnya sekitar Rp5.500. Kami sudah bersurat dan meminta perhatian, tapi sampai hari ini belum ada realisasi,” ungkap Uhubuilaik.
Ia juga menyoroti bahwa sistem kemitraan dan pengaturan produksi yang tidak transparan membuat peternak mandiri semakin tersisih. “Kami ini peternak kecil yang seharusnya dilindungi. Tapi faktanya, untuk mendapatkan bibit dan pakan saja sulit, sementara aturan banding pakan juga tidak jelas,” ujarnya.
Berdasarkan hasil konsolidasi, para peternak menyampaikan 10 tuntutan utama, sebagai berikut:
1. Membentuk Kementerian Peternakan, karena Kementerian Pertanian dinilai tidak kompeten dalam menangani masalah peternak.
2. Menegakkan Peraturan Menteri Pertanian No. 10 Tahun 2024 terkait pembagian DOC atau bibit anak ayam bagi peternak mandiri.
3. Menurunkan harga pakan ternak, dan menindak perusahaan yang menaikkan harga tanpa kendali.
4. Menurunkan harga DOC, yang dinilai terlalu tinggi akibat lemahnya pengaturan harga oleh Kementerian Pertanian.
5. Mengembalikan dukungan penuh kepada peternak ayam mandiri, sebagai bagian dari upaya mencapai swasembada, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional.
6. Menurunkan harga jagung menjadi Rp5.500/kg dengan kadar air 13–15 persen.
7. Mengimplementasikan Perpres No. 125 Tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Cadangan Pangan Pemerintah, khususnya penyerapan ayam hidup dari peternak mandiri.
8. Melarang perusahaan integrator berbudidaya, dan mengembalikan 100 persen kegiatan budidaya kepada peternak mandiri.
9. Membebaskan kuota GPS (Grand Parent Stock) jika pemerintah tidak mampu melakukan pengawasan, karena terbukti menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan praktik bundling yang merugikan peternak.
10. Menetapkan regulasi perlindungan peternak rakyat ayam ras, sesuai amanat Pancasila, UUD 1945, serta Pasal 33 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 jo. UU Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Apabila pemerintah tidak menindaklanjuti tuntutan ini, kami akan menggelar aksi lanjutan,” tegas Alvino.
Narahubung:
Alvino Antonio W. – 0815 1100 5589
(red/Jaya Putra)