Jurnalsembilan.com | Jakarta – Pakar hukum tata negara Dr. Ridwan Syaidi Tarigan, S.H., M.H., dosen Fakultas Hukum Universitas Pertiba, menilai bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah mencederai supremasi hukum karena tidak mematuhi putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT, yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Putusan yang dibacakan pada 13 Agustus 2024 itu secara tegas membatalkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2023 tanggal 9 November 2023 tentang Pengangkatan Dr. Suhartoyo, S.H., M.H. sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023–2028, dan mewajibkan MK mencabut keputusan tersebut.
Namun, hingga kini, Mahkamah Konstitusi belum menjalankan putusan tersebut. Menurut Dr. Ridwan, hal ini bukan sekadar persoalan administratif, melainkan pelanggaran serius terhadap prinsip negara hukum.
“Sungguh ironis. Lembaga setinggi Mahkamah Konstitusi yang seharusnya menjadi teladan dalam menjunjung hukum justru mengabaikan putusan pengadilan yang telah inkracht. Ini mencederai hukum dan melanggar sumpah jabatan,” tegas Dr. Ridwan saat diwawancarai di Jakarta, Rabu (6/11).
*Langgar Prinsip Supremasi Hukum*
Dr. Ridwan menjelaskan bahwa sesuai dengan Pasal 115 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. UU Nomor 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, setiap putusan pengadilan TUN yang telah berkekuatan hukum tetap bersifat final dan wajib dilaksanakan oleh pejabat terkait.
“Ketidakpatuhan terhadap putusan pengadilan adalah pelanggaran terhadap asas kepastian hukum dan asas penghormatan terhadap putusan pengadilan. Hakim MK, sebagai pejabat negara, tidak boleh kebal hukum,” tegasnya.
Ia menilai sikap Mahkamah Konstitusi yang tetap mempertahankan Keputusan Nomor 17 Tahun 2023 tersebut sebagai bentuk arogansi kelembagaan yang mencerminkan krisis etik dan moral yudisial di tubuh lembaga penjaga konstitusi itu.
*Alasan Independen Tidak Dapat Dibenarkan*
Menurut Dr. Ridwan, ketidakpatuhan MK sering kali dibenarkan dengan alasan independensi kelembagaan, di mana MK menganggap pengangkatan ketua atau tindakan internal lainnya merupakan “urusan internal” (internal affairs) yang tidak bisa diuji oleh peradilan TUN.
Namun, pandangan tersebut ia nilai tidak berdasar secara hukum.
“Independensi bukan berarti imunitas. Kemandirian kelembagaan tidak boleh dimaknai sebagai kebal terhadap hukum. Justru ketaatan terhadap hukumlah yang menunjukkan kematangan konstitusional sebuah lembaga,” jelas Ridwan.
*Dampak Ketidakpatuhan MK*
Dr. Ridwan mengingatkan, ketidakpatuhan Mahkamah Konstitusi terhadap putusan PTUN berpotensi menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga konstitusional tertinggi tersebut. Ia menilai terdapat tiga dampak serius dari sikap MK tersebut:
1. Menimbulkan preseden buruk bagi penegakan hukum dan keadilan administratif;
2. Mengurangi kepercayaan publik terhadap integritas lembaga konstitusi;
3. Bertentangan dengan prinsip checks and balances, karena MK seharusnya menjadi teladan dalam menaati hukum.
“Kalau Mahkamah Konstitusi saja tidak patuh pada hukum, lalu kepada siapa rakyat harus percaya? Ini pukulan telak terhadap integritas sistem peradilan,” tambahnya.
*Kritik atas Keangkuhan Konstitusional*
Dr. Ridwan juga menyinggung kecenderungan pola pikir para hakim MK yang menurutnya terlalu angkuh dan merasa tak tersentuh hukum. Ia mengingatkan bahwa putusan MK yang memisahkan Pemilu nasional dan Pemilu daerah, yang membedakan antara pemilihan DPR dan DPRD, merupakan bentuk pelanggaran terhadap semangat UUD 1945.
“MK tidak boleh menjadi lembaga yang menafsirkan konstitusi untuk kepentingannya sendiri. Keputusan yang melanggar prinsip kedaulatan rakyat adalah pelanggaran konstitusi itu sendiri,” ujarnya.
*Desakan Reformasi UU Mahkamah Konstitusi*
Melihat situasi ini, Dr. Ridwan mendorong agar DPR dan Presiden segera menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi yang baru. Menurutnya, perlu pengaturan ulang agar UU MK tidak dapat diuji oleh MK sendiri, sebab hal itu menimbulkan konflik kepentingan yang fatal.
“Tidak masuk akal bila MK menguji dan memutus aturan tentang dirinya sendiri. Ini seperti hakim menjadi pihak sekaligus pengadil dalam satu perkara. Karena itu, MPR juga perlu mempertimbangkan amandemen terbatas UUD 1945 agar ada mekanisme korektif atas kewenangan MK,” terang Ridwan.
*Perlu Mekanisme Etik dan Akuntabilitas*
Sebagai penutup, Dr. Ridwan menegaskan bahwa fenomena ini menunjukkan adanya kekosongan dan ketegangan antara hukum administrasi negara dan hukum konstitusi. Oleh sebab itu, diperlukan mekanisme etik dan hukum yang tegas untuk memastikan tidak ada lembaga, termasuk MK, yang kebal terhadap prinsip supremasi hukum.
“Ketaatan terhadap hukum adalah fondasi moral negara hukum. Ketika Mahkamah Konstitusi sendiri mengabaikan putusan pengadilan, maka wibawa konstitusi ikut runtuh,” pungkasnya.
(red/JYa)




















