Jakarta, –JurnalSembilan.com– Uji Kompetensi Wartawan (UKW) seharusnya menjadi ajang pembuktian profesionalitas, bukan ajang menakut-nakuti. Namun bagi sebagian wartawan, terutama mereka yang belum pernah mengikutinya, kata “UKW” terasa menyeramkan. Ia seakan menjadi momok yang menilai bukan hanya kemampuan menulis, tapi juga martabat seseorang sebagai jurnalis. Padahal, jurnalisme bukan sekadar soal ujian di ruang tertutup, tetapi soal kejujuran, empati, dan keberanian di lapangan.
Banyak wartawan yang mengaku gugup sebelum UKW, bukan karena mereka tidak kompeten, tetapi karena suasana yang dibangun terlalu formal dan kaku. Ada yang merasa seperti menghadapi sidang skripsi, bukan forum pengembangan diri. Di titik itu, semangat UKW untuk meningkatkan standar justru berubah menjadi tekanan psikologis. Seharusnya, UKW menguji dengan pendekatan yang membimbing, bukan menakutkan.
Persoalan lain muncul ketika pelaksanaan UKW sering kali berjarak dari realitas kerja wartawan di lapangan. Soal-soal dan simulasi yang diberikan kadang tidak merepresentasikan dinamika media di era digital. Wartawan yang terbiasa dengan media daring dan tempo cepat sering kali kebingungan menghadapi format ujian yang masih konvensional. Di sinilah muncul pertanyaan: apakah UKW benar-benar mengukur kompetensi yang relevan?
Lebih menakutkan lagi ketika UKW dianggap sebagai penentu hidup-mati karier wartawan. Mereka yang belum lulus seolah dipandang “tidak sah” menjadi jurnalis. Padahal, kompetensi seseorang tidak selalu bisa diukur dalam satu hari ujian. Banyak jurnalis lapangan yang berpengalaman puluhan tahun, namun terhambat hanya karena format ujian tidak sesuai dengan gaya kerja mereka. Ini yang membuat UKW terasa menyeramkan, bukan karena substansinya, tapi karena cara pandangnya yang sempit.
Sementara itu, lembaga penyelenggara UKW juga menghadapi tantangan untuk tetap objektif dan transparan. Di beberapa kasus, muncul isu tentang biaya, akses, bahkan dugaan “tebang pilih” dalam proses penilaian. Hal-hal semacam ini merusak kepercayaan publik dan memperkuat kesan bahwa UKW bukan lagi soal kompetensi, melainkan soal status dan sertifikat. Padahal yang paling penting dari seorang wartawan adalah integritas, bukan selembar kertas pengakuan.
Namun menggugat UKW bukan berarti menolak pentingnya standar profesional. Kritik ini lahir dari harapan agar UKW bisa diperbaiki — menjadi lebih relevan, adil, dan manusiawi. Wartawan butuh ujian yang mendorong mereka berkembang, bukan sekadar menguji kemampuan teknis. Uji kompetensi yang ideal justru harus menjadi ruang dialog antara pengalaman lapangan dan teori etika jurnalistik.
Akhirnya, UKW seharusnya menjadi cermin, bukan cambuk. Ia harus membantu wartawan melihat di mana letak kekuatan dan kelemahannya, bukan menakut-nakuti dengan ancaman gagal. Menggugat UKW bukanlah tindakan melawan, tapi panggilan untuk memperbaiki. Karena jurnalisme yang sehat hanya lahir dari proses yang jujur — bukan dari ujian yang menyeramkan, tapi dari keberanian untuk terus belajar dan berbenah.
( Wijaya )















