Jurnalsembilan.com | Jakarta, 22 Agustus 2025 – Para guru besar kedokteran dari berbagai universitas di Indonesia resmi mendeklarasikan berdirinya Majelis Guru Besar Kedokteran Indonesia (MGBKI) dalam acara inaugurasi yang berlangsung di Aula Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Jalan Salemba Raya, Kecamatan Senen, Jakarta Pusat.
Deklarasi ini dilanjutkan dengan press conference yang digelar di depan Aula FKUI, dihadiri oleh para pengurus MGBKI, akademisi, serta sejumlah media nasional. Wadah independen ini lahir dari keprihatinan bersama terhadap perkembangan dunia kedokteran dan kesehatan di Tanah Air, sekaligus untuk menjaga martabat, integritas, serta marwah ilmu kedokteran di Indonesia.
Dalam struktur awal, MGBKI menetapkan Prof. Budi Iman Santoso sebagai Ketua Umum, didampingi Prof. Prasetyono selaku Koordinator Formatur, serta Prof. Rinaldi sebagai Sekretaris. Para pengurus menegaskan, MGBKI hadir bukan sebagai organisasi profesi yang bersifat regulatif, melainkan sebagai wadah pemikir independen yang berfokus pada pengembangan ilmu, penelitian, dan kajian strategis di bidang kedokteran dan kesehatan.
Menurut Prof. Budi Iman Santoso, kehadiran MGBKI bertujuan membangun komunikasi yang solid antar-guru besar kedokteran serta menjadi mitra pemerintah maupun masyarakat dalam merumuskan kebijakan kesehatan berbasis ilmiah.
Yang paling penting adalah membangun komunikasi, menjaga integritas, dan memberikan edukasi. Kami akan menyusun kajian yang dapat menjadi masukan bagi pemerintah sekaligus meningkatkan literasi kesehatan masyarakat,” ujar Prof. Budi.
Dalam seminar perdana, para guru besar juga menyoroti pentingnya pendekatan sehat (preventif) dibanding pendekatan sakit (kuratif) dalam sistem kesehatan nasional. Kasus meninggalnya seorang balita akibat cacingan menjadi pengingat bahwa budaya hidup sehat harus ditanamkan sejak dini melalui edukasi masyarakat.
Salah satu topik utama yang dibahas adalah revitalisasi kolegium sebagai penjaga marwah pendidikan kedokteran. MGBKI menegaskan perlunya peran kolegium yang kuat agar pendidikan kedokteran tetap berbasis keilmuan, bukan birokrasi atau intervensi politik.
Selain itu, rencana pemerintah membuka 300 fakultas kedokteran baru juga mendapat sorotan tajam. Para guru besar mengingatkan bahwa tantangan terbesar bukan pada jumlah dokter, melainkan kualitas lulusan, distribusi tenaga medis, serta jaminan keamanan dan kenyamanan kerja.
Membangun fakultas kedokteran tidak sama dengan membangun gedung. Dibutuhkan standar input, proses, hingga hasil yang terukur. Jangan sampai masyarakat dirugikan dengan hadirnya lulusan yang tidak memenuhi standar,” tegas Prof. Prasetyono.
MGBKI menegaskan bahwa keberadaannya tidak bertentangan dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI). IDI tetap menjadi rumah besar profesi kedokteran, sementara MGBKI hadir sebagai wadah ilmuwan—para profesor kedokteran—untuk memberi suara akademis, kajian strategis, dan advokasi ilmiah terkait kebijakan kesehatan nasional.
Kami akan tetap independen, tidak masuk dalam arena regulasi. Namun ketika ada kebijakan yang tidak sesuai dengan perkembangan ilmu kedokteran, kami akan memberikan pandangan ilmiah demi kepentingan bangsa,” ujar Prof. Rinaldi.
Para guru besar juga mengingatkan bahwa profesi dokter pada hakikatnya lahir dari semangat kemanusiaan. Jangan sampai birokrasi dan kepentingan politik meruntuhkan semangat dokter untuk mengabdi. Dokter tetap harus dijaga marwahnya sebagai profesi luhur yang menolong manusia,” tegas Prof. Budi.
MGBKI menutup inaugurasi dengan pernyataan sikap bahwa mereka siap bersinergi dengan pemerintah, masyarakat, serta organisasi profesi lain, demi kemajuan ilmu kedokteran dan pelayanan kesehatan di Indonesia.
(red/Jaya Putra)