JurnalSembilan | Jakarta – Darurat ekologis (krisis iklim) akibat dari paradigma ekonomi global yang menempatkan alam sebagai onggokan komoditas terjadi di Indonesia, praktik kejahatan lingkungan hidup yang dilakukan secara sistematis dan berdampak luas dan kebijakan atau perizinan yang diberikan merupakan bentuk kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes), sebuah kejahatan yang terencana, sistematis, dan berdampak luas dan tidak bisa dipulihkan.
Apa yang terjadi di Sumatera hari ini bukan sekadar banjir, ini adalah pembuktian telanjang bahwa hutan kita dijarah habis-habisan oleh kepentingan ekonomi yang rakus dan dibiarkan oleh pengawasan pemerintah yang lemah.
Aceng Syamsul Hadie menyoroti bahwa peristiwa banjir di Sumatera disebabkan adanya deforestasi brutal di wilayah Sumatera.
“Banjir Sumatera bukan bencana alam, Ini kejahatan ekologis terstruktur”, ungkap Aceng Syamsul Hadie, S.Sos., MM selaku Ketua Dewan Pembina DPP ASWIN (Asosiasi Wartawan Internasional).
Aceng menjelaskan bahwa ketika banjir Jakarta membawa sampah plastik, banjir Sumatera membawa gelondongan kayu. Itu bukan fenomena alam. Itu adalah jejak kejahatan ekologis. Itu adalah bukti bahwa di hulu, hutan sedang dilindas oleh sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI) yang membuka jutaan hektar hutan frimer, tambang, dan kartel kayu yang bekerja tanpa rasa takut.
“Setiap batang kayu yang hanyut itu adalah bukti kegagalan negara menjaga hutan, setiap rumah yang hanyut adalah akibat dari pembiaran yang sistematis dan setiap korban yang meninggal adalah harga yang dibayar rakyat akibat kerakusan segelintir pihak”, tegasnya.
Aceng meyakini bahwa tidak ada lagi alasan, tidak ada lagi ruang bagi dalih curah hujan ekstrem atau anomali cuaca, curah hujan tidak pernah menebang pohon, iklim tidak pernah membawa chainsaw, tapi manusia lah yang melakukannya dan manusia lain yang memberi izin.
“Banjir Sumatera harus disebut apa adanya, ini kejahatan ekologis yang dilakukan oleh industri, dilegalkan oleh regulasi yang longgar, dan ditoleransi oleh aparat yang seharusnya menjaga lingkungan”, tambahnya.
Aceng menuntut investigasi menyeluruh terhadap perusahaan sawit dan HTI di daerah hulu, terhadap aktivitas tambang yang merusak daerah aliran sungai, terhadap mafia kayu yang menggunakan izin sebagai tameng, terhadap pemerintah daerah yang membiarkan ekosistem runtuh, dan terhadap aparat yang tidak menindak illegal logging secara tegas.
“Jika negara tidak segera bertindak, maka bencana yang lebih besar hanya soal waktu. Sumatera bukan hanya kehilangan hutannya, Sumatera sedang kehilangan masa depannya”, Pungkasnya.















